Program Studi Bahasa dan Sastra Arab (BSA) Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar bekerja sama dengan Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara sukses menyelenggarakan webinar ilmiah bertajuk “Infaq Uang Pannaik dalam Perspektif Islam dan Budaya Bugis-Makassar.”
Kegiatan yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting pada Rabu (27/08) ini diikuti oleh peserta yang berasal dari kalangan akademisi, mahasiswa, peneliti, dan masyarakat umum.
Webinar menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Dr. Islamul Haq, Lc., M.A. (Direktur Pascasarjana IAIN Parepare) dan Dr. Muhammad Mahrus Amri, Lc., M.A. (Ketua STAI DDI Pangkep). Acara ini dibuka oleh Dr. Baso Pallawagau, M.A., selaku Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Alauddin Makassar sekaligus Ketua LBM NU Sulawesi Selatan.
Dalam pengantar akademiknya, Dr. Baso Pallawagau menjelaskan secara etimologis makna kata infaq dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata nafaqa–yunfiqu, yang berarti “mengeluarkan” atau “membelanjakan harta.” Ia menegaskan bahwa dalam terminologi syariat, infaq dapat bernilai wajib maupun sunnah, tergantung pada konteks dan tujuannya.
“Infaq bisa bersifat wajib, seperti nafkah kepada keluarga dan zakat, tetapi bisa juga bersifat sunnah, seperti membantu sesama atau memberi hadiah dalam pernikahan. Oleh karena itu, tradisi uang pannaik perlu dikaji dari niat dan nilai sosialnya, bukan hanya dari besarannya,” jelas Dr. Baso Pallawagau.
Sementara itu, Dr. Islamul Haq menyoroti sisi sosial dan moral dari tradisi uang pannaik dalam masyarakat Bugis-Makassar. Menurutnya, praktik ini dapat menjadi bentuk infaq sosial jika dilandasi dengan niat baik, saling menghormati, dan tidak berlebihan.
“Islam tidak menolak adat selama selaras dengan maqashid syariah. Uang pannaik bisa bernilai ibadah bila menjadi sarana penghormatan, bukan ajang gengsi,” ungkapnya.
Adapun Dr. Muhammad Mahrus Amri menjelaskan dimensi urf (tradisi) dalam perspektif fikih, di mana adat yang membawa kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan prinsip agama dapat diakui sebagai bagian dari hukum Islam.
“Tradisi seperti pannaik ini menunjukkan bagaimana Islam memberi ruang bagi kearifan lokal untuk tumbuh bersama nilai-nilai syariat,” paparnya.
Kegiatan ini ditutup dengan sesi diskusi interaktif yang mempertemukan pandangan hukum, budaya, dan linguistik. Kolaborasi antara Prodi BSA dan LBM NU ini diharapkan menjadi wadah akademik yang terus menguatkan kajian Islam dan budaya lokal secara ilmiah dan moderat.