Jangan hanya menulis tentang bapak-bapak dong! Fenomena perkerjaan ibu-ibu di masa covid jauh lebih kompleks. Begitu sentilan teman yang juga merupakan aktivis perempuan. Saya menjawab, saya tulis bapak-bapak demi untuk ibu-ibu juga. Tapi betul, ibu-ibu perlu ditulis. Teman ini menyinggung tentang 'multijobs' yang harus dipenuhi ibu-ibu pada masa covid. Tenaga diarahkan untuk menyediakan makanan lebih banyak, karena orang tinggal di rumah. Dulu bapak-bapak makan di luar, anak-anak jajan di sekolah yang mengurangi aktifitas dapur.
Bahkan seorang ibu profesional memprediksi bahwa dapur akan kehilangan fungsi dalam waktu singkat. Dapur hanya akan menjadi aksesoris rumah seiring dengan onlinisasi bisnis makanan. Tapi pandemi membalikkan prediksi ini. Pembagian dapur kering dan dapur basah tidak relevan lagi, semua menjadi basah karena saking seringnya orang bekerja di dapur.
Siapa terbebani? 'Multburdens' terjadi pada ibu-ibu. Tuntutan menu makanan meningkatkan volume kerja ibu-ibu. Penyediaan logistik bervariasi membutuhkan tambahan biaya, sementara pendapatan selama covid menurun. Masih lumayan kalau menjadi PNS, ada pendapatan rutin, meskipun juga dengan situasi ini sepenuhnya mengandalkan pemasukan berupa gaji. Tradisi nyambi bapak-bapak hilang sama sekali.
Beban kerja yang meningkat kadang cenderung lepas dari perhatian banyak bapak; hanya rajinnya bertanya secara mekanis. Apa menu buka puasanya? Makanan sahurnya apa? Camilan kita sudah habis yah? Sementara situasi pengaturan biaya operasional sepenuhnya ditanggung ibu rumah tangga.
Tapi saya melihat, disinilah fungsi Ramadan hadir di masa covid. Cita-cita fitrah dari buah Ramadan yang dilakoni bisa ter'upgrade' dua kali lipat, uji daya tahan karena covid, dan uji menahan diri masa Ramadan. Jadi inilah sesungguhnya ruang instropeksi terbaik, pertemuan situasi yang membuat kita bisa saling melengkapi. Bukan memelintirnya menjadi lolucon bias gender: 'Kalau ibu agak capek mengurusi semua pekerjaan di rumah, bagaimana kalau saya mencari ibu baru yang bisa membantu meringankannya?'
Jangan pernah sedikitpun terlintas berfikir seperti itu, karena saya yang pertama menentang. Satu saja tangga rumahnya sudah kesulitan dinaiki. Bijaklah kawan!