Saya memang sudah membayangkan mendapat respon positif dari pembaca ibu-ibu terhadap penutup coretan saya pada edisi kemarin. Bahkan ada teman bapak-bapak dengan nada meledek meminta saya, saatnya maju di pilkada untuk merebut suara perempuan. Kebetulan di kota saya akan ada pilkada. Bahasanya: pasang balihonya segera, pak Hamdan!
Ibu-ibu di group WA lainnya semangat memberi penguatan, dan aktifis perempuan teman saya itu kembali mengangkat sentilan lebih pedas lagi: 'Deklarasi monogami dari laki-laki itu keren'. Searah dengan sorang ibu profesional yang memuji kalimat penutup saya, dengan menawarkan apresiasi berupa nasi briyani kambing buatan khasnya yang siap untuk digojekkan ke rumah saya.
Fenomena ini yang membuat saya semakin tersadar bahwa terdapat semacam 'unfinished business' saat menyinggung isu 'poli-mono'. Sepertinya ada kran yang tidak berjalan lancar karena sumbatan yang sudah kronis, atau ada hambatan membentangkan secara terbuka saat berhadapan dengan predikat masing-masing; apakah sebagai laki-laki atau perempuan, perjaka atau perawan, suami atau isteri, dan sebagai ayah atau ibu.
Berbicara isu 'poli' memang sudah identik dengan laki-laki, termasuk juga menjadi pihak yang terhukum. Karena perbincangan 'poli' untuk perempuan sudah dihentikan dan dihukum duluan oleh agama dan tradisi. Mengapa menjadi perbincangan yang tidak pernah selesai? Saya melihat praktek poligami selalu dilatari oleh beragam motif. Motif inilah yang menjadi penyebab tidak langsung (indirect cause) yang sering juga disebut penyebab utama.
Motif ini juga bervariasi dan menjadi sering tak teridentifikasi oleh banyak perempuan yang merasakan dampaknya. Motif inilah yang sering 'dimainkan' oleh banyak laki-laki. Mungkin ada murni motif agama atau ada yang membungkusnya seakan menjadi motif agama. Disini terjadi 'whirpools', pusaran arus dari arah berlawanan, yang bisa menghanyutkan.
Tapi ada yang menarik, ada teman yang japri saya dan bunyinya: Jangan mematikan potensi poligami itu di kita, kaum lelaki. Saya hanya tertawa meresponnya, sambil berfikir bahwa ini juga satu bentuk motif karena isu itu dipelihara oleh kaum lelaki untuk menjaga posisi tawar di rumah tangga. Dari sudut ini, selayaknya perempuan tidak mudah terjebak dengan 'permainan motif' dan tenggelam dalam pusaran arus.
Ada baiknya kita menengok ke arah lain, bahwa sengketa perbincangan poligami yang tak berujung bisa saja sekadar alarm bahwa isu ini berperan sebagai 'checks and balances' untuk mengawetkan kebersamaan sebagai pasangan. Tapi kalau ada yang kurang sepakat, itu di luar tanggung jawab penulis.