Di tengah perekonomian global yang lesu dan diprediksi akan berlangsung lama, iba rasanya mendengar seorang pembuat tahu tempe dan tetangganya penjual bakso dinyatakan positif terpapar Covid-19. Di saat krisis ekonomi biasanya sektor informal seperti pedagang kaki lima, penjual sayur keliling, penjual bakso, petani, nelayan dll menjadi pelarian bagi para pekerja sektor formal yang di-PHK. Bahkan sektor informal ditengarai dapat menjadi penyelamat dan penyanggah perekonomian karena menyerap banyak tenaga kerja.
Para pekerja informal ini tidak terorganisir, tidak memiliki jaminan sosial apalagi THR padahal jam kerjanya tidak terbatas.
Lalu apa jadinya jika di saat pandemik seperti sekarang justru mereka pun terpapar Covid19? Kalaupun ada diantara keluarganya yang bisa menggantikannya, orang juga pasti kuatir untuk bertransaksi dengannya, alasannya takut tertular. Lalu siapa yang akan memberi makan keluarganya? Apakah agama juga berpihak kepada kaum dhu'afa dan mustad'afin?
Islam pada dasarnya adalah agama yang konsen dengan keadilan sosio-ekonomi. Islam bukan saja agama pembebas dari kekufuran tapi juga kefakiran. Doktrin Islam selama ini lebih banyak dijadikan sebagai bahan diskusi dan latihan berfikir abstrak oleh para ilmuan dan minim menyetuh persoalan eksistensial manusia saat ini. Islam pada akhirnya kehilangan elang vitalnya yang original berupa pemberdayaan kaum tertindas baik secara ekonomi maupun politik. Teologi hanya berkutat pada persoalan internal agama dan tidak bersenyawa dengan denyut jantung kehidupan nyata. Doktrin Islam hanya dimanfaatkan sebagai pelipur lara oleh orang tertentu untuk sekedar melupakan penderitaan abadi. Disinilah sebenarnya letak kritikan Karl Marx terhadap agama sehingga ia mengatakan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat. Agama hanya dijadikan sebagai tameng untuk meninabobokan rakyat jelata dan membungkam mulut mulut yang kritis menyuarakan kebenaran.
Konsep Al-Qur'an untuk memberdayakan fakir miskin sangat jelas, QS.59:7 dengan tegas menyatakan "...jangan sampai harta hanya berputar pada orang-orang kaya di antara kalian saja..." . Kemudian pada QS.51:19 "Dan pada harta mereka terdapat hak orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta..." sehingga apa yang kita berikan kepada fakir miskin pada dasarnya bukanlah sumbangan tetapi hak mereka yang dititipkan pada kita. Demikianlah sehingga zakat pada dasarnya diperintahkan untuk diambil bukan diberikan, QS. 9:103 "Ambillah zakat dari harta mereka..."
Ungkapan ungkapan bernada kecaman bagi penumpuk harta berturut-turut dapat dibaca pada surah al-Humazah, al-Takatsur, Al-Ma'un, al-Lahab dan banyak lagi yang tersebar dibeberapa surah.
Salah satu biang pemiskinan adalah pemborosan dan ekploitasi alam yang tak terkendali demi memuaskan nafsu serakah dan gaya hidup konsumerisme kapitalis borju. Mereka dengan sengaja membuat standar hidup yang tinggi dan menciptakan kebutuhan² artificial menjadi trendi dan model. Teguran keras Al-Qur'an terhadap pemborosan dapat dilihat pada QS.17:26-27 "...dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu). Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."
Saat inilah komitmen keberagaman dan kepedulian kita terhadap fakir miskin diuji.